Resensi Buku Kumpulan Cerpen (Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya)

Judul                      : Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya

Pengarang              : Puthut EA

Penerbit                 : Demos

Tempat Terbit         : Jakarta

Tahun Terbit           : 2010

Tebal                      : iii + 186 halaman

Puthut EA lahir tahun 1977, di Rembang, Jawa Tengah. Sejauh ini, ia telah menulis 14 buku baik fiksi maupun nonfiksi. Ia telah menulis 14 buku baik fiksi maupun nonfiksi. Ia menulis karya fiksi dari mulai cerpen, novel, naska drama dan naska film pendek. Selain sebagai penulis ia juga seorang peneliti, penyunting, pemandu penulis kreatif dan konsultan perbukuan.

Di tahun-tahun itu, nama Mbarno tetap menjadi buah bibir. Ia boleh dibilang segelintir orang yang sangat suka menonton acara Dunia Dalam Berita, acara yang saat itu tidak banyak disukai oleh penduduk kampungku. Ia juga menyimak dengan tekun acara ‘omong-omongan’, dialog di televisi, acara yang juga membosankan saat itu. Televisi Balai Desa merupakan tempat tongkrongan Mbarno yang paling utama.

Tidak lama kemudian, saat Reformasi tiba, ia memasuki babak kehidupan yang sangat penting dalam hidupnya. Di kampungku, pencurian kayu dan rel kereta api berlangsung di masa Reformasi itu. Mbarno, kudengar, termasuk salah satu dalang yang ikut terlibat di dua kasus itu. Di saat itulah, bermunculan orang-orang kaya baru di kampungku, termasuk para polisi dan tentara. Rumah-rumah mewah berdiri megah dibanyak tempat.

Hanya ada yang membedakan mereka semua dengan Mbarno. Ia membangun rumah bisa saja. Rumah sederhana. Ia juga tidak sering menunjukan kemewahan hidupnya. Ia tetap berkumpul diwarung kopi dan tentu saja menraktir semua pengunjung warung. Di saat para bandar kayu mulai mengoleksi mobil dan truk, Mbarno hanya mempunyai sebuah sepeda motor dan sebuah truk.

Di kampungku, Mbarno dikenal pula sebagai seorang Juru Runding. Karinya dimulai dari hal-hal sederhana, misalnya orang tua yang tidak menyetujui anak perempuannya menikah dengan seorang laki-laki. Lalu laki-laki itu datang ke tempat Mbarno, dan Mbarnolah yang mendatangi pihak orangtua yang tidak setuju. Entah apa yang dibicarakan Mbarno terhadap orangtua tersebut, pernikahan akhirnya berlangsung juga. Berbagai kasus pertikaian dan perkelahian antar warga baik dalam satu kampung ataupun antar kampung pun selesai jika diurus oleh Mbarno. Dari pada datang ke kepolisian atau ke kepala desa. Mereka bilang, datang ke Mbarno tidak mengeluarkan uang dan urusan beres.

“Jangan bermimpi negeri ini akan menjadi lebih baik dalam sepuluh tahun ke depan. Aku ini tahu persis jeronan kekuasaan. Aku ini terlibat dalam pemili jenis apa pun. Tapi juga jangan berharap cara-cara yang dilakukan oleh teman-temanmu yang hanya makan buku dan bangku sekolahan itu bisa menyelesaikan masalah. Malah bisa menambah masalah saja.”

“Aku ini pemain kecil. Banyak orang yang jauh lebih kaya, jauh lebih berkuasa, jauh lebih pintar, jadi pemain besar. Mungkin ribuan. Dan orang-orang seperti itu yang mengatur negara ini. Gampang saja, memengnya yang mengatur kecamatan ini Pak Camat? Bukan! Memangnya yang mengatur kabuaten ini Pak Bupati? Bukan! Begitu seterusnya, sampai ke atas. Orang-orang seperti aku ini yang mengatur negeri ini, Hanya tingkatanku masih yang tidak begitu tinggi.”

Kali ini aku terpaksa menyahut pembicaraannya, “Ya, tapi orang-orang yang kamu dukung jadi pejabat itu mursal semua.”

“Kamu salah! Memangnya kalau yang jadi orang lain juga tidak bobrok? Semua orang penuh dengan janji manis ketika mau mencalonkan diri, begitu jadi ya rusak semua. Terus kamu mau membebankan kesalahan itu kepadaku?”

“Iya, setelah itu, ya mana bisa aku mengontrol mereka? Sedangkan yang tukang kontrol di dewan pun pada kemaruk semua.”

“Misalnya, kalau aku tidak main, aku akan disingkirkan. Bisnisku akan diganggu. Kalau bisa dimatikan! Kalau tidak ada ancaman seperti itu, buat apa kamu main begituan? Bikin hidup tidak tenang.”

Mbarno lalu memanggil Gimo, kemudian ia berbisik, “ Kamu pikir kalau tidak ada orang sepertiku, bagaimana nasib orang seperti Gimo?”

Cerpen “Juru Runding” merupakan selah satu cerpen yang berisi tentang demokrasi, sesua dengan tujuan diterbitkanya buku ini yaitu untuk mengembangkan kapasitas masyarakat untuk pemujaan demokrasi dan hak asasi manusia melalui subuh cerita pendek yang dimuat secara kompleks dan menarik.

Cerpen ini dinilai bagus dari segi isi maupun bahasanya. Cerpen ini mengajak pembaca untuk mengkaji berbagai kondisi dan kebijakan negara di bidang ekonomi, dan sosial yang ada di masyrakat Indonesia secara kritis. Buku kumpulan cerpen Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya ini memuat 10 cerpen yang berbeda pengarang. Selain “ Juru Runding” karya Puthut EA, adalah cerpen “Bagaimana Berpolitik Melalui Seekor Kodok” karya A.S Laksana, “Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya” karya FX Rudy Gunawan, “Monolok Tongkat Catatan Harian Seorang Penyair Buta” karya Irwan D. Kustanto, “Festival Topeng Nasonal” karya Lan Fang, “Para Pencerita” karya Linda Christanty, “Wasiat Untik Cucuku” karya Martin Aleida, “Menjadi Anjing” karya Miranda Harlan, dan “Grubug” karya Oka Rusmini.

Tema cerpen-cerpen dalam buku ini cukup beragam, mulai dari masalah kebijakan ekonomi, kondosi politik, bidang ekonomi, sosial, politik, hingga budaya, dan masalah kebagsaan secara umum. Cerpen  “ Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya” (hal. 19-44) misalnya menceritakan tentang seorang rakyat petani miskin yang hidup di desa, yang suka sekali bertanya. Pada saat itu dia bertanya tentang apakah seorang kepala desa boleh bangun siang? Dia bertanya ke hampir semua penduduk desa tempat tinggalnya namun dia tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuasakan dari mereka semua. Sampai akhirnya dia bertemu dengan pejabat daerah yang datang kedesanya dan rakyat yang suka bertanya tadi menanyakan hal tersebut kepada pejabat itu, namun rakyat tersebut mendapatkan jawaban yang membinggungkan dari pejabat daerah itu.

Lalu cerpen “Grubug” (hal. 137-156) mengangkat tema seorang nenek yang memungut buah kakau dari kebun perusahaan perkebunan kakau yang ada di dekat rumahnya kemudian wanita malang tersebut dipenjara dengan tuduhaan pencurian bua kakau, padahal dalam cerita sebelumnya diceritakan bahwa tanah perusahaan kakau tersebut merukan milik dari ayah nenek tersebut yang dibunuh karena di anggap membawah sial di desa mereka, kemudian tanah ayah nenek tersebut dialihkan menjadi tanah perusahaan tersebut.

Cerpen “Menjadi Anjing” misalnya lagi mengambarkan tentang bagaimana kehidupan guru di daerah perbatasan Kalimantan yang mengabdi kepada negara dengan beragam kesulitan yang dihadapi, serta gaji yang minim. Gaji tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga guru tersebut, karena Istri dari guru tersebut muak dengan pendapatan suaminya yang minim dan sang suami yang sedang menderita sakit, sang istri terpaksa menjajakan dirinya demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Di sisi lain kehidupan di negara tetangga jauh lebih menjanjikan daripada kehidupan di negara mereka sendiri. Mereka beranggapan dengan kehidupan seperti ini lebih terhormat menjadi anjing (hal. 119-136).

Cerpen “Festifal Topeng” lagi menceritakan tentang tokoh yang menjadi istri seorang pengerajin topeng wayang yang tidak begitu laris, setiap hari sang istri ini hanya bisa mengeluh sampai akhirnya diadakanya festifal topeng yang membuat topeng mereka laku keras, namun ada dua topeng yang tidak dijual yaitu Ekalaya dan topeng Rahwana yang memiliki banyak wajah, sang istri meminta suaminya memakai topeng Rahwana yang memiliki sifat dengki dalam perwayangan, yang pada akhirnya membuat suami dari si istri ini meliki sifat itu (hal. 75-88).

Cerpen-cerpen dalam buku ini memang cukup beragam dan beberapa di antaranya idenya menarik serta kritis terhadapa apa yang terjadi pada saat ini. Hanya saja penggarapannya belum semuanya berhasil secara maksimal  baik dari kelancaran berbahasa (cercerita/bertutur) dan juga upaya penggalian yang lebih dalam. Kadang malah nampak kurang utuh, bertele-tele, kedodoran dan hanya menarik pada bagian-bagian tertentu saja, beberapa bahasa juga masih ada yang kurang jelas (belum dimengerti) dalam masing-masing cerpen serta dalam penulisan cerpen terdapat beberapa ejaan yang kurang sempurna. Semua cerpen menarik dan berimbang dalam buku Kumpulan cerpen ini.

Sayangnya dalam buku kumpulan cerpen sebagus ini yang banyak ditulis mengenai berbagai persoalan mulai dari masalah kebijakan ekonomi, kondosi politik, bidang ekonomi, sosial, politik, hingga budaya, dan masalah kebagsaan secara umum ini masih belum begitu baik dalam penggunaan ejaan dalam penulisanya. Karenanya, sambil menunggu buku kumpulan cerpen sekelas “Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya” yang lahir kembali, buku yang sudah ada ini penting untuk dibaca dan dikoleksi oleh siapapun, terutama pecinta kritikus dalam bidang sastra. Karena bagaimanapun buku ini layak menghiasi kepustakaan kita.***

Tentang muhammad habibi
Saya adalah siswa SMAN 1 Sangatta Utara

2 Responses to Resensi Buku Kumpulan Cerpen (Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya)

Tinggalkan komentar